Panas Pela kedua negeri ini berlangsung di Negeri Nalahia, Selasa (19/12/2017), sekaligus meresmikan Monumen Pela Darah. Turut hadir dalam acara dimaksud Staf Ahli Bidang Pembangunan (Roni. S. W. Tairas), mewakili Gubernur Maluku Said Assagaff, Asisten I Setda Maluku Tengah (Wem Istia) mewakili Bupati Tuasikal Abua, Anggota DPR RI (Novita Anakotta), Ketua DPD Gerindra Maluku (Hendrik Lewerissa), Sekretaris Dinas Perhubungan Provinsi Maluku (Meki Lohi), Raja Nalahia (G. Leiwakabessy), Raja Waraka ( P. R. Lailosa), serta ribuan masyarakat Risapori Henalatu dan Paisine Yamalatu, baik dalam daerah Maluku maupun dari Belanda.
Panas Pela Nalahia dan Waraka menurut Gubernur dalam sambutannya yang dibacakan Roni Tairas, merupakan upaya revitalisasi keariafn lokal dimana setiap kebudayaan lokal merupakan bagian dari khazanah budaya nusantara.
Revitaliasi kearifan lokal dalam panas pela ini merupakan upaya kita untuk mentransformasikan nilai-nilai kearifan lokal, khusunya kesadaran hidup orang basudara dalam menghadapi dinamika masyarakat yang makin multi kultural dewasa ini, ujarnya.
dijelaskan, ikatan pela sebagai identitas manusia Maluku yang khas, sesungguhnya telah menyuguhkan sebuah tingkat keadaban yang tinggi dalam pertalian sejati hidup orang basudara. sebagaimana ungkapan luhur katong samua, yaitu potong di kuku rasa di daging, ale rasa beta rasa, sagu salempeng dibagi dua.
Untuk itu, dirinya meminta para latupati, untuk kembali melakukan revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal sebagai modal sosial kultural dalam rangka membangun maluku yang rukun, religius, damai, sejahtera, aman, berkualitas dan demokratis yang dijiwai semangat siwalima berbasis kepulauan secara berkelanjutan.
Sementara itu, Bupati Maluku Tengah dalam sambutannya yang dibacakan Asisten I Bidang Pemerintahan dan Pembangunan (Wem Istia) mengungkapkan, panas pela Nalahia – Waraka bukan sekedar ekspresi seremonial secara adat namun lebih dari itu memberikan kesan moral kultural dan religius dan sangat bermakna, yang harus diprtahankan oleh masyarakat tentang nilai kasih, menyayangi, serta adat istiadat sebagai modal sosial dalam mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan hidup bersama.
Menurutnya, panas pela merupakan warisan berharga, sekaligus sebagai tanda pengikat kepada generasi penerus, bahwa kita memiliki warisan identitas budaya yang patut dibanggakan, dengan tidak melupakan asal usul.
Kita Patut Bangga sebagai pembuktian bahwa agama, adat dan budaya bisa dapat dipertahankan dalam menciptakan keharmonisan dan kedamaian hidup, tegasnya.
Panas pela Nalahia dan Waraka kemudian ditutup dengan ibadah syukuran yang berlangsung di Gereja Tua Sion Desa Nalahia.
sumber : admin.negeri nalahia/2021